Konsep pendidikan integratif memiliki penafsiran yang bermacam-macam. Sub-Direktorat PSLB (1992: 3) menafisirkan pendidikan integratif sebagai pendidikan yang menempatkan anak luar biasa belajar bersama anak normal dalam satu kelas. Barbara Clark (1983: 404) menginterpretasikan pendidikan integratif sebagai pendidikan yang berupaya mengoptimalkan perkembangan fungsi kognitif, afektif, fisik, dan Intuitif secara terintegrasi. Pendidikan semacam itu menurtil Clark merupakan upaya mengintegrasikan pemikiran Barat yang rasional dengan pemikiran Timur yang intuitif. Dalam buku ini, pendidikan integratif ditafsirkan sebagai pendidikan yang berupaya (1) mengintegrasikan anak luar biasa dengan anak normal; ()) mengintegrasikan pendidikan luar biasa dengan pendidikan pada umumnya; (3) mengintegrasikan dan mengoptimalkan perkembangan kognisi, emosi, jasmani, dan intuisi; (4) mengintegrasikan manusia sebagai makhluk individual yang sekaligus juga makhluk sosial; (5) mengintegrasikan antara apa yang dipelajari anak di sekolah dengan tugas mereka di mass depan; dan (6) mengintegrasikan antara pandangan hidup (Pancasila), agama, ilmu, dan seni. Membahas hakikat pendidikan integratif semacam itu tentu saja memerlukan banyak halaman, yang tidak mungkin dilakukan dalam buku Mi. Oleh karena itu, pembahasan tentang pendidikan integratif pada buku ini dibatasi hanya integrasi manusia sebagai makhluk individual yang sekaligus juga makhluk sosial, yang dituangkan dalam. , bentuk pendidikan koperatif, kompetitif, dan individualistik. Wujud darn pendidikan individualistik dalam bentuk PPI (Program Pendidikan Individual) telah dibahas dalam Bab Ili, dan dalam bab ini akin dibahas wujud pendidikan individualistik dalam bentuk lain, yaitu pembelajaran individualistik melalui modifkasi perilaku. Ada empat alasan perlunya menyelenggarakan pendidikan integratif di sekolah, yaitu (1) alasan keilmuan, (2) alasan filosofis, (3) alasan ekonomi, dan (4) fleksibilitas kurikuluni LPTK (Lembaga pendidikan Tenaga Kependidikan).
Sejak tahun akademik 1992/1993 Direktorat Jenderal pendidikan Tinggi telah memberlakukan kurikulum yang dikenal dengan kurikulum fleksibel di LPTK seluruh Indonesia. Dengan kurikulum semacam itu mahasiswa calon guru PLB dapat mengikuti program minor atau PSSM (Post Secondary Subject Matter Mastery) pada jurusan lain; begitu pula dengan mahasiswa jurusan lain, dapat mengikuti program minor atau PSSM pada Jurusan PLB. Dengan kurikulum, semacam itu maka dimungkinkan diciptakannya pendidikan yang integratif. Hasil penelitian di DKI Jakarta menunjukkan bahwa iklim belajar kompetitif antar anak-anak berkemampuan heterogen lebih dominan daripada iklim . Belajar koperatif (Sri Purnami I. Subekti dan Mulyono, 1992). lklim belajar semacam itu tidak menunjang keberhasilan upaya membantu anak berkesulitan belajar. Untuk melaksanakan pendidikan integrative di suatu sekolah diperlukan dua langkah penting. Pertama, diciptakannya iklim belajar koperatif yang diselingi dengan belajar kompetitif yang selektif (kompetisi antar individu yang berkemampuan seimbang kompetisi antar kelompok yang setara. kompetisi dengan standar nilai minimum, dan kompetisi dengan diri sendiri). Langkah kedua, menyelenggarakan PPI (Program Pendidikan Individual) bagi anak berkesulitan belajar dan anak luar biasa lainnya,
Menurut Johnson dan Johnson (1984- 10) ada empat elemen dasar dalam pembelajaran koperatif, yaitu (1) saling ketergantungan positif, (2) Interaksi tatap muka, (3) akuntabilitas individual, dan (4) keteranipilan menyalin hubungan interpersonal. Dalam interaksi koperatif guru menciptakan suasana belajar yang mendorong anak-anak untuk saling membutuhkan. Interaksi yang saling membutuhkan inilah yang dimaksud dengan saling ketergantungan positif saling ketergantungan positif (positive interdependence) dapat dicapai melalui saling ketergantungan tujuan (goal interdependence), saling ketergantungan (task interdependence), saling ketergantungan sumber belajar (resource interdependence), saling ketergantungan peranan (role interdependence), dan saling ketergantungan hadiah (reward interdependence).
Ada sejumlah perbedaan antara kelompok belajar koperatif dengan kelompok belajar tradisional. Sejumlah perbedaan tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut;
a. Kelompok belajar koperatif didasarkan atas saling ketergantungan positif yang menuntut tiap anggota kelompok saling membantu demi keberhasilan kelompok. Dalam kelompok belajar tradisional sering ada anggota yang mendominasi atau bergantung pada kelompok atau anggota lain.
b. Kelompok belajar koperatif menuntut adanya akuntabilitas individual yang mengukur penguasaan bahan belajar tiap anggota kelompok, dan kelompok diberi balikan tentang prestasi belajar anggota-anggotanya sehingga mereka saling mengetahui teman yang memerlukan bantuan. Dengan demikian, anggota kelompok yang telah menguasai bahan pelajaran membantu yang belum menguasai agar dapat memberikan urunan bagi keberhasilan kelompok. Dalam kelompok belajar tradisional akuntabilitas individual sering diabaikan sehingga tugas-tugas sering diborong oleh salah seorang anggota kelompok sedangkan anggota yang lain hanya ndompleng keberhasilan "pemborong".
c. Kelompok belajar koperatif terdiri dari anak-anak yang berkemampuan atau memiliki karakteristik heterogen sedangkan dalam kelompok belajar tradisional anggotanya sering homogen.
d. Dalam kelompok belajar koperatif pemimpin kelompok dipilih secara demokratis sedangkan dalam kelompok belajar tradisional pimpinan kelompok sering ditentukan oleh guru.
e. Dalam kelompok belajar koperatif semua anggota hares saling membantu dan saling memberikan motivasi sedangkan dalam kelompok belajar tradisional sering tidak mengharuskan demikian.
f. Dalam kelompok belajar koperatif penekanan tidak hanya pada penyelesaian tugas tetapi juga pada upaya mempertahankan hubungan interpersonal antar anggota kelompok. Dalam kelompok belajar tradisional penekanan sering hanya pada penyelesaian tugas.
g. Dalam kelompok belajar koperatif keterampilan sosial yang dibutuhkan dalam kerja gotong-royong seperti kepemimpinan, kemampuan berkomunikasi, mempercayai orang lain, dan mengelola konflik secara langsung diajarkan. Dalam kelompok belajar tradisional keterampilan sosial semacam itu sering hanya diasumsikan.
h. Pada saat kelompok belajar koperatif sedang berlangsung, guru terus melakukan observasi terhadap kelompok-kelompok belajar dan melakukan intervensi jika terjadi masalah dalam kerjasama antar anggota kelompok. Observasi dan intervensi semacam itu sering tidak dilakukan oleh guru dalam kelompok belajar tradisional.
a. Merumuskan Tujuan Pembelajaran
Ada dua macam tujuan pembelajaran yang, perlu diperhatikan oleh guru, yaitu tujuan akademik (academic objectives) dan tujuan keterampilan bekerjasama (collaborative skills objectives). Tujuan akademik dirumuskan sesuai dengan taraf perkembangan anak dan suatu konseptual atau analisis tugas; sedangkan tujuan keterampilan bekerjasama meliputi keterampilan memimpin, berkomunikasi, mempercayai orang lain, dan mengelola konflik.
Ada berbagai alasan dipilihnya interaksi koperatif dalam pembelajaran. Menurut Johnson dan Johnson (1984: 90) hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi koperatif memiliki berbagai pengaruh positif terhadap perkembangan anak. Berbagai pengaruh positif tersebut adalah :
a. meningkatkan prestasi belajar;
b. meningkatkan retensi;
c. lebih dapat digunakan untuk mencapai taraf penalaran tingkat tinggi;
d. lebih dapat mendorong tumbuhnya motivasi intrinsik;
e. lebih sesuai untuk meningkatkan hubungan antar manusia yang heterogen;
f. meningkatkan sikap anak yang positif terhadap sekolah;
b. Menentukan Besarnya Kelompok Belajar
Besarnya kelompok belajar dalam pembelajaran koperatif biasanya terdiri dari dua sampai enam anak. Ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan besarnya kelompok belajar, yaitu (1) kemampuan anak, (2) ketersediaan bahan, dan (3) ketersediaan waktu. Kelompok belajar hendaknya sekecil mungkin agar semua anak aktif menyelesaikan tugas-tugas mereka.
c. Menentukan Anak dalam Kelompok
Ada empat pertanyaan mendasar yang perlu dijawab untuk menentukan atau menugaskan anak dalam kelompok.
1) Penempatan anak secara homogen atau heterogen. Pengelompokkan anak dalam pembelajaran koperatif hendaknya secara heterogen. Dengan demikian, kelompok memiliki anggota yang tergolong berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah.
2) Bagaimana menempatkan anak dalam kelompok. Bagi anak-anak yang baru mengenal belajar koperatif sebaiknya dimulai dengan menempatkan mereka ke dalam kelompok belajar koperatif yang, berorientasi pada bukan tugas (nontask-oriented). Bagi anak-anak yang telah berpengalaman dalam belajar koperatif, mereka dapat ditempatkan dalam kelompok belajar koperatif yang berorientasi pada tugas (taskoriented).
3) Anak-anak bebas memilih teman atau, ditentukan oleh guru. Kebebasan memilih teman sering menyebabkan terbentuknya kelompok-kelompok belajar homogen yang dapat menggagalkan tujuan belajar koperatif Anggota kelompok belajar hendaknya ditentukan oleh guru secara acak. Ada beberapa teknik untuk menentukan anak ke dalam kelompok.
a) Berdasarkan sosiometri. Melalui metode sosiometri, anak ditentukan apakah is tergolong disukai banyak teman atau tergolong terisolasi. Anak yang terisolasi hendaknya dimasukkan ke dalam kelompok anak yang disukai banyak teman.
b) Berdasarkan kesamaan nomor. Jika jumlah anak dalam suatu kelas ada 30 misalnya, dan guru ingin membentuk 10 kelompok masing-masing beranggotakan 3 anak, guru dapat menghitung anak-anak tersebut dengan hitungan satu sampai sepuluh. Anak yang bernomor sama berkumpul dalam satu kelompok sehingga dengan demikian diperoleh 10 kelompok belajar yang anggotanya diharapkan berkemampuan heterogen.
c) Menggunakan teknik acak berstrota. Lebih dahulu ditentukan kelompok anak secara homogen, misalnya kelompok anak pandai dalam bidang studi tertentu. sedang, kurang, menyandang ketunaan, dan sebagainya. Setelah itu, kelompok-kelompok tersebut diubah menjadi kelompok-kelompok heterogen sehingga dalam tiap kelompok terdapat anak pandai, sedang, kurang, dan luar biasa.
d. Menentukan Tempat Duduk Anak.
Tempat duduk hendaknya disusun agar tiap anggota kelompok dapat saling bertatap muka tetapi cukup terpisah darikelompok-kelompok lainnya. Susunan tempat duduk dalam bentuk lingkaran atau berhadap-hadapan dapat menjadi pilihan.
e. Merancang bahan untuk meningkatkan saling ketergantungan
Ada tiga macam cara meningkatan saling ketergantungan positif, yaitu :
1) Saling ketergantungan bahan. Tiap kelompok hanya diberi satu bahan belajar, dan kelompok harus bekerja sama untuk mempelajarinya.
2) Saling ketergantungan informasi Tiap anggota kelompok diberi bahan belajar yang, berbeda untuk disintesiskan. Bahan pelajaran juga dapat diberikan dalam bentuk jogsatr puzzle sehingga dengan demikian tiap anak memiliki bagian dari bahan yang diperlukan untuk melengkapi tugas.
3) Saling ketergantungan menghadapi lawan dari luar. Bahan belajar disusun dalam suatu bentuk pertandingan antar kelompok berkekuatan setara sebagai dasar untuk meningkatkan sating ketergantungan antar anggota kelompok. Kesetaraan kekuatan kelompok hendaknya diperhatikan karena kompetisi antar kelompok yang seimbang dapat membangkitkan motivasi belajar.
f. Menentukan Peranan Anak untuk Menunjang Saling Ketergantungan
Saling ketergantungan koperatif kadang-kadang juga disusun berdasarkan tugas-tugas yang saling melengkapi pada tiap anggota kelompok. Dalam pelajaran IPA misalnya, seorang anggota kelompok ditugasi sebagai penyimpul, lainnya sebagai peneliti, penulis, pemberi semangat, dan ada pula yang menjadi pengawas terjalinnya kerja sama. Penugasan untuk memerankan fungsi-fungsi semacam itu merupakan metode efektif untuk melatih keterampilan bekerja sama.
g. Menjelaskan Tugas Akademik
Ada beberapa aspek yang harus disadari oleh guru dalam menjelaskan tugas akademik kepada anak seperti dikemukakan berikut ini :
1) Menyusun tugas sehingga anak-anak menjadi jelas tentang tugas tersebut. Bagi anak-anak, kejelasan tugas dapat menghindarkan mereka dari frustasi. Dalam pembelajaran koperatif anak yang tidak memahami tugasnya dapat bertanya kepada kelompoknya sebelum bertanya kepada guru.
2) Menjelaskan tujuan pembelajaran dan kaitannya dengan pengalaman anak di masa lampau.
3) Mendefinisikan konsep-konsep, menjelaskan prosedur yang harus diikuti oleh anak, atau memberikan contoh-contoh.
4) Mengajukan pertanyaan-pertanyaan khusus untuk mengetahui pemahaman anak tentang tugasnya.
h. Mengkomunikasikan kepada Anak tentang Tujuan dan Keharusan Bekerja sama
Untuk mengkomunikasikan kepada anak tentang tujuan dan keharusan bekerjasama, guru dapat menggunakan cara-cara sebagai berikut:
1) Perminta kepada kelompok untuk, menghasilkan suatu karya atau produk. Karya atau produk kelompok dapat berbentuk laporan atau karya lainnya. Tiap anggota kelompok harus menandatangani laporan yang menunjukkan bahwa is setuju dengan isi laporan kelompok dan dapat menjelaskan alasan dan isi laporan.
2) Menyediakan hadiah bagi kelompok. Pemberian hadiah merupakan salah gate cara untuk mendorong kelompok menyalin kerja sama sehingga terjalin rasa kebersamaan. Semua anggota kelompok harus saling membantu agar masing-masing memperoleh sekor hasil belajar yang optimal, karena keberhasilan kelompok ditentukan oleh keberhasilan tiap, anggotanya.
i. Menyusun Akuntabilitas Individual
Suatu kelompok belajar tidak dapat dikatakan benar-benar koperatif jika memperbolehkan adanya anggota yang mengerjakan seluruh pekerjaan atau anggota yang tidak melakukan pekerjaan apa pun demi kelompok.
Untuk menjamin bahwa seluruh anggota kelompok belajar dan bahwa kelompok mengetahui adanya anggota yang memerlukan bantuan dan dorongan, guru harus sering melakukan pengukuran untuk mengetahui taraf penguasaan tiap, anggota kelompok.
j. Menyusun Kerja Sama Antar kelompok
Hasil positif yang ditemukan dalam suatu kelompok belajar koperatif dappt diperluas ke seluruh kelas dengan menciptakan kerja sama antar kelompok. Nilai tambahan dapat diberikan jika seluruh anggota kelas mencapai standar mute yang tinggi. Jika suatu kelompok telah menyelesaikan pekelaannya dengan baik, anggotanya dapat diminta untuk membantu kelompok-kelompok lain yang belum selesai. Upaya semacam ini memungkinkan terciptanya suasana kehidupan kelas yang sehat, yang memungkinkan semua potensi anak berkembang optimaly dan terintegrasi.
k. Menjelaskan Kriteria Keherhasilan
Penilaian dalam pembelajaran koperatif bertolak dari penilaian acuan patokan (criterion referenced). Pada awal kegiatan pembelajaran, guru hendaknya menjelaskan dengan gamblang tentang bagaimana pekerjaan anak-anak akan dinilai.
l. Mendefinisikan Perilaku Yang Diharapkan
Perkataan kerja sama atau gotong-royong sering memiliki konotasi dan penggunaan yang bermacam-macam. Oleh karena itu, guru perlu mendefinisikan perkataan kerja sama tersebut secara operasional dalam bentuk berbagai perilaku yang sesuai dengan pembelajaran koperatif. Berbagai bentuk perilaku tersebut antara lain dapat dikeniukakan dengan kata-kata "tetaplah berada dalam kelompokmu", "berbicaralah pelan-pelan," dan "berbicaralah menurut giliran"'. Jika kelompok mulai berfungsi secara efektif, perilaku yang diharapkan dapat meliputi :
3) Tiap anggota menjelaskan bagaimana memperoleh jawaban.
3) Meminta kepada tiap anggota mengaitkan dengan apa yang telah dipelajari sebelumnya untuk mengawali pelajaran.
3) Memeriksa untuk meyakinkan bahwa semua anggota kelompok memahami bahan yang dipelajari dan menyetujui jawabanjawabannya.
3) Mendorong semua anggota kelompok untuk berpartisipasi dalam menyelesaikan tugas.
3) Memperhatikan dengan sungguh-sungguh tentang apa yang dikatakan oleh anggota lain.
3) Jangan mengubah pikiran karena berbeda dengan pikiran anggota lain tanpa penjelasan yang logis.
3) Memberi kritik terhadap ide, bukan terhadap pribadi.
m. Memantau Perilaku Anak
Setelah kelompok-kelompok mulai bekerja, guru hendaknya menggunakan sebagian besar dari waktunya untuk memantau kegiatan anak, untuk mengetahui masalah-masalah yang muncul dalam menyelesaikan tugas dan dalam menyalin hubungan kerja sama.
n. Memberi Bantuan kepada Anak dalam Menyelesaikan Tugas
Pada saat melakukan pemantauan, guru hendaknya menjelaskan pelajaran, mengulang prosedur dan strategi untuk menyelesaikan tugas, menjawab pertanyaan, dan mengajarkan keterampilan menyelesaikan tugas jika perlu.
o. Intervensi untuk Mengajarkan Keterampilan Bekerja Sarna
Pada saat memantau kelompok-kelompok yang sedang belajar, guru kadang-kadang menemukan anak yang tidak memiliki keterampilan bekerja sama yang cukup dan adanya kelompok yang memiliki masalah dalam menyalin kerjasama. Dalani keadaan demikian, guru mungkin perlu memberikan nasehat agar anak-anak dapat bekerja secara efektif.
p. Menutup Pelajaran
Pada saat pelajaran berakhir, guru perlu meringkas pokok-pokok pelajaran, meminta anak-anak mengemukakan ide-ide atau memberi contoh, dan menjawab pertanyaan akhir yang mungkin diajukan oleh anak.
q. Mengevaluasi Kualitas dan Kuantitas Belajar Anak
Guru melakukan evaluasi terhadap hasil belajar kelompok berdasarkan penilaian acuan patokan. Para anggota kelompok juga harus diberi umpan balik tentang hasil belajar dan kerja sama mereka dalam kelompok.
r. Mengevaluasi Kebagusan Berfungsinya Kelompok Belajar
Meskipun waktu belajar di kelas terbatas, kadang-kadang diperlukan waktu untuk membicarakan kebagusan kelompok-kelompok berfungsi pada hari itu, apa yang telah dilakukan dengan baik, dan apa yang masih perlu ditingkatkan.
3. INTERAKSI KOMPETITIF DALAM KEGIATAN PEMBELAJAR AN
Ada dua prinsip yang sangat perlu diperhatikan oleh guru dalam
kenggunakan interaksi pembelajaran kompetitif, yaitu (1) kompetisi
harus antar individu atau antar kelompok yang berkemampuan
seimbang dan (2) kompetisi hanya dilakukan untuk selingan yang
menyenangkan, bukan kompetisi perjuangan hidup-mati. Jika guru ingin
menciptakan kompetisi antar individu maka individu yang saling
berkompetisi harus memiliki peluang yang sama untuk kalah atau menang. Begitu pula jika kompetensi tersebut antar kelompok (Mulyono, 1990).
4. PEMBELAJARANLINDIVIDLULLSTIK MELALUI MODIFIKAST PERILAKU
Perlu diketahui bahwa teknik modifikasi perilaku (behavior modification) tidak hanya dapat digunakan dalam pembelajaran individualistik tetapi juga dapat digunakan dalam pembelajaran kelompok. Modifikasi perilaku adalah suatu bentuk strategi pembelajaran yang bertolak dari pendekatan behavioral (behavioral approach) yang menerapkan prinsip-prinsip operant conditioning. Ada empat karakteristik utama dalam pendekatan behavioral, yaitu (1) terfokus pada perilaku yang dapat diamati (observable behavior), (2) asesmen yang cermat terhadap perilaku yang akan diubah atau dikembangkan, (3) evaluasi terhadap pengaruh program pengubahan perilaku, dan (4) menekankan pada perubahan perilaku sosial yang bermakna (Alan E. Kazdin, 1980). Ada enam prinsip operant conditioning yang mendasari strategi. modifikasi perilaku, yaitu (1) memberikan Ulangan penguatan (reinforcement), (2) memberikan hukuman (punishment), (3) menghapus (extinction), (4) membentuk dan merangkaikan (shaping and chaining), (5) menganjurkan dan memudarkan (prompting and fading), (6) diskriminasi dan mengontrol rangsangan (discrimination and stimulus control), dan (7) generalisasi (generalization). Ketujuh prinsip tersebut akan dibahas secara ringkas sebagai berikut.
a. Memberikan Ulangan Penguatan (Reinforcement)
Ulangan penguatan positif (positive reinforcement) menunjukj pads suatu peningkatan frekuensi dari suatu respons yang diikuti oleh peristiwa yang menyenangkan (positive reinforcer) Dalam kehidupan sehari-hari, positive reinforcer sering disebut hadiah (reward). Dalam modifikasi perilaku, positive reinforcer dibedakan dari reward, jika peristiwa yang menyertai perilaku itu menyebabkan meningkatnya frekuensi perilaku yang diharapkan, maka peristiwa tersebut dinamai positive rein forcer. Sebaliknya, suatu reward belum tentu dapat meningkatkan frekuensi perilaku yang diharapkan. Dengan kata lain, positive reinforcer adalah reward yang dapat meningkatkan frekuensi perilaku yang diharapkan.
Ada dua macam positif reinforeer, yaitu (1) primary or unconditioned reinforce dan (2) secondary or conditioned reinforce.
b. Memberikan Hukuman (Punishment)
Prinsip punishment adalah kehadiran suatu peristiwa yang, tidak menyenangkan atau penghilangan peristiwa yang menyenangkan yang mengikuti suatu respons yang dapat menghilangkan atau mengurangi frekuensi respons tersebut. Ada perbedaan antara punishment dengan negative reinforcement. Punishment ditujukan untuk menghilangkan respons sedangkan negative (juga positive) reinforcement ditujukan untuk meningkatkan respons. Dalam punishment suatu keadaan yang tidak menyenangkan merupakan akibat yang mengikuti respons, sedangkan dalam negative reinforcement, keadaan yang tidak menyenangkan dihilangkan setelah suatu respons yang diharapkan muncul.